Digital Cinema
adalah sebuah konsep, sebuah sistem yang lengkap, meliputi seluruh rantai
produksi film dare akuisisi dengan kamera digital untuk pasca-produksi,
distribusi ke semua pameran, dengan bit dan byte bukan 35mm gulungan (Michel
2003).
Digital produksi
dan pasca produksi
Sampai saat ini,
proses pembuatan film yang sebenarnya dari sebuah produksi film telah
menggunakan 35mm atau 70mm roll film kamera yang menggunakan tabung-tabung
seluloid. Gambar kualitas yang dihasilkan oleh kamera digital dirasakan secara
signifikan lebih rendah dari film, dan sementara rekaman film semakin dimotori
oleh komputer untuk pasca-produksi manipulasi, proses produksi itu sendiri
tetap berbasis seluloid.
Dalam teori,
Digital Cinema dimulai pada akhir tahun 1980-an, ketika Sony datang dengan
konsep pemasaran 'sinematografi elektronik'. Tetapi, inisiatif ini gagal. Pada
akhir tahun 1990-an, dengan pengenalan perekam HDCAM dan penggantian nama dari
proses 'sinematografi digital' pembuatan film menggunakan kamera digital dan
peralatan terkait akhirnya mulai berjalan.
George Lucas
berperan penting dalam melahirkan pergeseran ini, ketika pada tahun 2001 dia
shooting 'Attack dari Klon' episode Star Wars digital, menggunakan Sony
HDW-F900 HDCAM yang dilengkapi dengan lensa Panavision camcorder high-end. Ini
sebenarnya adalah shooting pertama dengan kamera Sony. Sementara mampu shooting
dengan gambar standar Amerika konvensional 30-frame/second interlaced, kamera
ini juga bisa men-shoot 24-frames/second, standar untuk film, dan juga video
progresif, video terdiri dari bingkai lengkap.
High-end kamera
menggunakan sensor tunggal yang merupakan ukuran yang sama seperti film 35mm
frame, dan memungkinkan kedalaman dangkal sama lapangan seperti kamera film
konvensional. Selain itu, pengambilan gambar dalam format HDTV progresif
memberikan ukuran gambar berukuran 720x1080 pixel. Hasilnya adalah 'filmis'
dibandingkan dengan sebuah 'televisual' . Pada pertengahan 1990-an, Sony dengan
kamera format DCR-VX1000 MiniDV menjanjikan kualitas gambar seperti itu,
sementara masih tidak sebagus film, cukup baik untuk low-budget bagi pembuat
film untuk memulai syuting fitur mereka secara digital dan editing mereka di
program desktop yang relatif murah dalam perangkat lunak. Kamera high-end
menggunakan ukuran yang minimal atau kompresi yang tidak melalui proses untuk
mengurangi ukuran file, sedangkan sistem biasanya MiniDV menggunakan tingkat
kompresi yang tinggi, untuk mengurangi kualitas gambar demi kepentingan
penyimpanan ukuran.
Karena jangkauan
dinamis yang lebih rendah dari kamera digital, maka koreksinya buruk dan lebih
sulit untuk tampil di pasca-produksi. Solusi parsial untuk masalah ini adalah
penambahan video-kompleks untuk membantu teknologi selama proses syuting. Ini
mungkin 'hanya' terdiri dari monitor video high-kinerja yang memungkinkan
sinematografer untuk melihat apa yang sedang direkam dan untuk membuat
penyesuaian yang diperlukan. Peningkatan penggunaan teknologi digital dan
proses dalam produksi film fitur juga mempengaruhi logistik produksi film,
memungkinkan lokasi yang sepenuhnya digantikan oleh digital yang dibuat.
Singkatnya, hanya bisa menambah suatu ruang nyata, dimana benda kecil atau
bagian dari sebuah adegan digital yang ditambahkan ke rekaman asli. Pandangan
lebih luasnya, digital dibuat dapat secara substansial yang ditambahkan ke
ruang 3-D yang nyata, seperti yang terjadi dengan adegan Coliseum dalam
Gladiator (Scott 2000). Sejauh ini, gambar digital dapat membentuk penggantian
diegesis dunia nyata dengan menciptakan sesuatu yang berbau digital, seperti di
Sky Kapten dan tomorrow world (Conran 2004) di mana para aktor yang hanya
non-digital dibuat suatu unsur dalam film.
Sebuah keuntungan
lebih lanjut dari penciptaan digital set dan lokasi, terutama yang di usia
meningkatkan serials film, sekuel dan waralaba, adalah bahwa set virtual,
sekali dibuat dalam komputer dan disimpan sebagai data, dapat dengan mudah
diregenerasi untuk produksi film masa depan, membuat sekuel waralaba
menguntungkan dan lebih mudah untuk membentuk dan membuatnya. Skala ekonomi
dalam proses digital itu digunakan untuk mengimbangi biaya produksi film modern.
Yang menarik adalah bahwa penggantian virtual tempat lokasi nyata mengalami
peningkatan pada produksi sekarang yang dikenal bernilai mahal.
Digital Cinema
merujuk pada penggunaan teknologi digital untuk mendistribusikan dan
menayangkan gambar bergerak. Sebuah film dapat didistribusikan lewat perangkat
keras, piringan optik atau satelit serta ditayangkan menggunakan proyektor
digital alih-alih proyektor film konvensional. Digital Cinema berbeda dari HDTV
atau televisi high definition. Digital Cinema tidak bergantung pada penggunaan
televisi atau standar HDTV, aspek rasio atau peringkat bingkai. Proyektor
digital yang memiliki resolusi 2K mulai disebarkan pada tahun 2005, dan sejak
tahun 2006 jangkauannya telah diakselerasi.
Digital Cinema
dapat dibuat dengan media video yang untuk penayangannya dilakukan transfer
dari format 35 milimeter (mm) ke format high definition (HD). Proses transfer
ke format HD melalui proses cetak yang disebut dengan proses blow up. Setelah
menjadi format HD, penayangan film dilakukan dari satu tempat saja, dan
dioperasikan ke bioskop lain dengan menggunakan satelit, sehingga tidak perlu
dilakukan salinan film. Contohnya, dari satu bioskop di Jakarta, film dapat
dioperasikan atau diputar ke bioskop-bioskop di daerah melalui satelit.
Animasi
Animasi adalah suatu rangkaian
gambar diam secara inbeethwin dengan jumlah yang banyak, bila kita proyeksikan
akan terlihat seolah – olah hidup (bergerak), seperti yang pernah kita lihat
film – film kartun di televisi maupun dilayar lebar jadi Animasi kita simpulkan
menghidupkan benda diam diproyeksikan menjadi bergerak. 3 Penggunaan animasi
pada komputer telah dimulai dengan ditemukannya software komputer yang dapat
dipergunakan untuk melakukan ilustrasi di komputer, membuat perubahan gambar satu
ke gambar berikutnya sehingga terbentuk suatu bentuk gerakan tertentu.
Animasi 2D (2 Dimensi)
Animasi
ini yang paling akrab dengan keseharian kita. Biasa juga disebut dengan film
kartun. Kartun sendiri berasal dari kata Cartoon, yang artinya gambar yang
lucu. Memang, film kartun itu kebanyakan film yang lucu. Contohnya banyak
sekali, baik yang di TV maupun di Bioskop. Misalnya: Looney Tunes, Pink
Panther, Tom and Jerry, Scooby Doo, Doraemon, Mulan, Lion King, Brother Bear,
Spirit, dan banyak lagi. Meski yang populer kebanyakan film Disney, namun bukan
Walt Disney sebagai bapak animasi kartun. Contoh lainnya adalah Felix The Cat,
si kucing hitam. Umur si kucing itu sudah lumayan tua, dia diciptakan oleh Otto
Messmer pada tahun 1919. Namun sayang, karena distribusi yang kurang baik, jadi
kita sukar untuk menemukan film-filmnya. Bandingkan dengan Walt Disney yang
sampai sekarang masih ada misalnya Snow White and The Seven Dwarfs (1937) dan
Pinocchio (1940).
Berikut ini daftar software yang digunakan untuk
membuat animasi 2D :
·
Corel RAVE
·
Moho
·
CreaToon
·
ToonBoom
·
Autodesk Animation
·
Adobe Flash
·
Adobe Photoshop
·
Adobe After Effect
·
CoRETAS
Animasi 3D (3 Dimensi)
Perkembangan
teknologi dan komputer membuat teknik pembuatan animasi 3D semakin berkembang
dan maju pesat. Animasi 3D adalah pengembangan dari animasi 2D. Dengan animasi
3D, karakter yang diperlihatkan semakin hidup dan nyata, mendekati wujud
manusia aslinya. Semenjak Toy Story buatan Disney (Pixar Studio), maka
berlomba-lombalah studio film dunia memproduksi film sejenis. Bermunculanlah,
Bugs Life, AntZ, Dinosaurs, Final Fantasy, Toy Story 2, Monster Inc., hingga
Finding Nemo, The Incredible, Shark Tale. Cars, Valian. Kesemuanya itu biasa
juga disebut dengan animasi 3D atau CGI (Computer Generated Imagery).
Berikut ini daftar software yang
digunakan untuk membuat animasi 3D :
·
3D Studio Max
·
Maya
·
LightWave
·
Softimage
·
Cinema 4D
·
TrueSpace
·
Animation Master
·
Amapi
·
Strata 3
·
Rhino
·
Houdini
·
Infini-D
·
Carrara
·
Canoma
·
Wings 3D
·
Motion Builder
·
Poser
·
TDI (Thomson Digital Image)
Cinema 4D
Cinema 4D adalah Produk
dari MAXON ,software ini memang
belum terkenal seperti teman-temannya yaitu 3D max dan Maya yang sering
digunakan oleh para animator maupun orang banyak untuk membuat animasi ataupun
arsitektur 3D. Tapi anda jangan salah, sudah banyak banget film animasi yang di
buat oleh Cinema 4D diantaranya The Golden Compass, Beowulf, all three
Spider-Man films, Surf's Up, Fantastic Four: Rise of the Silver Surfer, Ghost
Rider, Open Season, all three Pirates of the Caribbean films, Monster House,
Eragon, Superman Returns, The Chronicles of Narnia: The Lion, the Witch, and
the Wardrobe, Serenity, War of the Worlds, Polar Express, The Flight of the
Phoenix, Van Helsing, King Arthur, Star Wars: Episode II - The Attack of the
Clones, the On-Air Packages for TMZ T.V., Comedy Central, Monday Night
Football, Jeopardy, Wheel of Fortune, ESPN, NFL Network, TiVO, NBC, DirecTV, CBS
NFL, Smart House, Fox dan masih banyak lagi. Sekarang Cinema 4D sudah mencapai
versi 11.
Berikut ini daftar software yang digunakan untuk membuat animasi 4D :
·
Blender (gratis)
·
Daz3D (gratis)
Perbedaan Teknologi 2D, 3D,
dan 4D
2D
Ciri
dari format film dengan teknologi 2D ini adalah, tidak adanya benang halus,
suaranya yang bagus, warnanya lebih cerah, dan tajam, namun,
kekurangan dari format 2D ini adalah, resolusinya yang tidak sebesar format
biasa, karena apabila semakin lebar resolusinya maka akan semakin gepeng
layarnya. Bagian-bagian adegan yang tersensor (dengan cara potong adegan) lebih
halus ketimbang format biasa, bahkan seperti tidak tersensor potongan adegan
tersebut. Secara umum, format 2D ini memiliki gambar yang lebih halus layaknya
kita menonton DVD dirumah dengan kualitas suara yang bagus.
3D
Pada
saat ini sudah banyak film hollywood yang berformat 3D, bahkan beberapa film
tidak memiliki versi biasanya dan hanya terdapat format 3D. Sudah tidak asing
lagi bagi masyarakat Indonesia mengenai film berformat 3D ini, karena format
ini mengharuskan kita menggunakan kacamata 3D. Dan film-film tersebut juga
memiliki efek nyata, yaitu efek gambar yang keluar dari layar, dan hanya
bisa terlihat jika kita menggunakan kacamata 3D ini. Di tahun-tahun sebelumnya,
hanya film animasi sajalah yang memiliki format 3D. Namun, akibat berkembangnya
kecanggihan CGI, maka film biasa seperti live action pun sudah berformat 3D. Di
beberapa film 3D, bahkan tidak terdapat Subtitle nya, dikarenakan memasukan
suatu subtitle ke film dengan format 3D ini akan menurunkan kualitas film
sebesar 10%.
4D
Tidak
berbeda jauh dengan format 3D, hanya saja efek dari film 4D ini, bukan hanya
gambarnya saja yang keluar, melainkan ada getaran-getaran atau efek-efek nyata
yg dihasilkan. Misalnya saja film-film animasi bertema kehidupan alam, ketika
adegan di air, maka ada air yang menyipratkannya ke wajah kita, atau uap air
menetes. Lalu ketika adegan gempa bumi, maka kursi yang kita duduki akan
bergetar juga, memang unik dan mengasyikan tetapi para penonton pasti tidak
akan fokus ke filmnya melainkan ke efeknya saja. Film berformat seperti ini
tidak hanya mengacu pada layar bioskop saja, melainkan beberapa aplikasi media
seperti penggerak kursi yang menghasilkan getaran, uap air, serta beberapa efek
lainnya, termasuk AC yang bisa tiba-tiba berubah menjadi sangat dingin saat
adegan salju, dan Heater yang dapat memanas saat adegan padang pasir. Dan
format film ini pun harus diputar pada bioskop-bioskop khusus saja.
Perbedaan Digital
Cinema
Perbedaan Digital
Cinema dengan sinema konvensional adalah dalam hal visualisasi dan suara.
Visualisasi digital cinema berbentuk garis-garis, sementara sinema konvensional
menggunakan media pita seluloid, yang memiliki struktur visualisasi berupa
titik-titik. Untuk kualitas suara, digital cinema hanya dapat memberi kualitas
suara stereo. Sementara sinema konvensional, memiliki kualitas suara dolby
surround.
Kamera untuk
Digital Cinema
Pada tahun 2007, medium pengalihan paling umum bagi fitur yang ditayangkan secara digital adalah pita film 35 mm yang dipindai dan diproses pada resolusi 2K (2048×1080) atau 4K (4096×2160) lewat penengah digital. Kebanyakan fitur digital saat ini sudah bisa merekam pada resolusi 1920x1080 menggunakan kamera seperti Sony CineAlta, Panavision Genesis atau Thomson Viper. Kamera-kamera baru seperti Arriflex D-20 dapat menangkap gambar dengan resolusi 2K, dan kamera bernama Red One keluaran perusahaan Red Digital Cinema Camera Company dapat merekam dengan resolusi 4K. Penggunaan proyeksi 2K pada sinema digital telah mencapai lebih dari 98 persen. Baru-baru ini perusahaan Dalsa Corporations Origin mengembangkan kamera yang dapat merekam dengan resolusi 4K RAW. Selain itu, ada jenis kamera lain yang dapat merekam dengan resolusi 5K RAW seperti RED EPIC. Ada juga kamera yang dapat merekam dengan resolusi 3K RAW (untuk menyesuaikan dengan anggaran pembuat film ) seperti RED SCARLET
Proyektor Digital
Cinema
Untuk menayangkan
sinema digital, diperlukan proyektor yang berbeda dengan proyektor untuk
menayangkan sinema konvensional. Terdapat dua jenis proyektor yang dapat
digunakan untuk menayangkan sinema digital, yaitu proyektor DLP dan DCI.
Proyektor DLP memiliki resolusi 1280×1024 atau setara dengan 1.3 megapiksel.
Sedangkan proyektor DCI memiliki dua jenis spesifikasi, yaitu 2K (2048×1080)
atau setara 2.2 MP pada 24 atau 48 bingkai dan 4K (4096×2160) atau setara
dengan 8.85 MP pada 24 bingkai per detik. Proyektor DLP dikembangkan oleh
perusahaan Texas Instrument. Ada tiga pabrik yang telah memiliki lisensi untuk
memproduksi teknologi sinema DLP yaitu Christie Digital Systems, Barco, dan
NEC. Christie, yang telah lama berdiri sebagai pabrik teknologi proyektor sinema
konvensional, adalah pembuat proyektor CP2000—bentuk dasar proyektor yang
paling banyak tersebar secara global (total kira-kira 5,500 unit). Barco
meluncurkan seri DLP dengan resolusi 2K yang masih kalah dengan proyektor
sinema digital DCI. Barco juga merancang dan mengembangkan produk proyektor
dengan tingkat visualisasi berbeda bagi pembuat film profesional. NEC
memproduksi Starus NC2500S, NC1500C dan NC800C proyektor 2K bagi layar kecil,
medium dan besar. NEC juga memproduksi sistem penyedia sinema digital Starus
dan alat-alat lain untuk menghubungkan dengan computer, tape analog atau
digital, penerima satelit, DVD dan lain-lain. Sementar NEC adalah pendatang
baru dalam industri proyektor sinema digital, Christie adalah pemain utama
dalam pasar Amerika Serikat. Sedangkan Barco memimpin pasar Eropa dan Asia.
Ketika perusahaan Texas Instrument pertama kali memperkenalkan teknologi
proyektor 2K, perusahaan proyeksi digital merancang dan menjual banyak unit
proyektor sinema digital DLP. Ketika proyektor dengan resolusi melebihi
proyektor 2K dikembangkan, pasar mulai menawarkan proyektor berbasis DLP bagi
tujuan non-sinema. Pada januari 2009, lebih dari 6000 sistem sinema digital
berbasis DLP dipasang di seluruh dunia, di mana sebanyak 80 persen berlokasi di
Amerika utara.
Teknologi
penayangan sinema digital lainnya dibuat oleh perusahaan Sony dan diberi label
teknologi "SXRD" . Proyektor-proyektor SXRD seperti SRXR210 dan
SRXR220, menawarkan resolusi 4096x2160 (4K) dan memiliki piksel empat kali
lebih banyak dari pada proyektor 2K. Proyektor sinema digital Sony juga
memiliki harga yang kompetitif dengan proyektor DLP 2 K yang memiliki resolusi
lebih rendah (2048x1080 atau setara dengan 2.2 megapiksel).
Proses
pasca-produksi sinema digital
Pada proses pasca
produksi, negatif film pada kamera asli dipindai menjadi format digital pada
pemindai resolusi tinggi. Dengan teknologi digital, data dari kamera gambar
bergerak bisa diubah menjadi format berkas gambar yang enak untuk ditonton.
Semua berkas gambar dapat dikoreksi agar cocok dengan daftar edit yang dibuat
oleh editor film. Hasil akhir proses pasca produksi adalah penengah digital
yang digunakan untuk memindahkan rekaman gambar bergerak pada film ke cinema
digital. Semua suara, gambar, dan elemen data produksi yang telah dilengkapi
dapat dipasang pada pusat distribusi sinema digital yang berisi semua material
digital yang harus ditayangkan. Gambar dan suara kemudian dimampatkan dan
dikemas dalam bentuk kemasan sinema digital (dalam bahasa inggris: Digital
Cinema Package atau DCP.
Keuntungan Ekonomi
Sebelum teknologi
digital muncul dalam pembuatan sinema, sinema harus dibuat dengan pita seluloid
yang harganya amat mahal. Pita seluloid 35 mm satu rollnya berharga empat juta
dan hanya mampu merekam sepanjang empat menit. Berarti untuk membuat sinema
berdurasi 100 menit dibutuhkan dana sekitar 25 juta rupiah. Itu hanya untuk
merekam gambar dan belum untuk mengedit dan memperbanyak gambar. Pada sinema
seluloid, sinema harus melalui proses printing dan blow up yang bisa
menghabiskan dana minimal 233 juta rupiah. Sedangkan biaya untuk membuat kopi
sinema adalah 10 juta rupiah. Padahal untuk diputar di bioskop di seluruh
Indonesia, sebuah sinema minimal harus memiliki 25 kopi. Artinya produser harus
menyediakan dana 250 juta rupiah.
Dengan menggunakan
teknologi digital, biaya pembuatan sinema menjadi amat murah. Sinema digital
dapat dibuat dengan menggunakan kamera Betacam SP yang kasetnya berharga 110
ribu rupiah dengan kemampuan merekam hingga 30 menit. Sinema digital juga bisa
dibuat dengan Digital Video atau Digital Beta yang lebih murah lagi. Dengan
biaya 400 ribu rupiah, Digital video mampu merekam gambar hingga 180 menit.
Dibandingkan dengan sinema seluloid, pembuatan sinema dengan teknologi digital
bisa menekan biaya hingga 500 juta rupiah. Karena sinema digital tidak perlu
melalui proses printing atau blow up. Dengan menggunakan sinema digital, hanya
diperlukan biaya untuk proses encoding sebesar 5 juta rupiah. Oleh karena itu,
bagi para produser, sinema digital merupakan teknologi yang sangat murah.
Teknologi ini dapat dijadikan alternatif untuk para pembuat film yang ingin
berkarya dengan biaya seminim mungkin.
Penayangan Digital
Cinema
Walau digital
cinema memiliki keuntungan dalam tahap produksi dan pasca-produksi namun
penayangannya masih menjadi hambatan. Sebagian besar bioskop di Indonesia hanya
memiliki alat untuk memutar sinema seluloid. Satunya-satunya cara agar digital
cinema bisa diputar di bioskop hanyalah dengan mencetaknya kembali dalam pita
seluloid. Sedangkan tidak semua digital cinema yang berformat video bisa
ditransfer menjadi seluloid karena standar video adalah 625 garis atau 525
garis. Sedangkan, kualitas imaji seluloid 35 mm setara dengan 2.500 garis. Jadi
kalau dari video digital ditransfer ke seluloid, hasilnya akan jauh dari
memuaskan. Di Indonesia untuk saat ini hanya Blitzmegaplex yang mempunyai
peralatan yang mampu menayangkan film dengan format digital.
Contoh Cinema
Digital
Dolby ® Digital
Cinema adalah solusi lengkap dan handal, dan fleksibel yang menggabungkan
kemudahan pengoperasian dengan pengalaman pelanggan yang tak tertandingi.
Penawaran yang luar biasa dengan gambar dan kualitas suara. Integrasi mudah
dengan otomatisasi yang ada pada sistem suara. Memastikan fleksibilitas untuk
memenuhi perubahan kebutuhan Anda dan melindungi investasi Anda selama
bertahun-tahun yang akan datang Secara efisien memenuhi kebutuhan anda dengan
mengelola dan menyajikan fitur memenuhi kunci Digital Cinema Initiatives (DCI).
Dolby Digital
Cinema dengan mudah dan otomatisasi dalam system suara, memberikan kualitas
gambar dan suara yang luar biasa menakjubkan. Dolby Digital Cinema memenuhi
spesifikasi kunci DCI yang memberikan kehandalan yang luar biasa, dan tingkat
keamanan tertinggi dalam bisnis. Sistem server digital ini adalah yang pertama
untuk mencapai Federal Information Processing Standards (FIPS) sertifikasi
Tingkat 3, memastikan tingkat tertinggi dalam perlindungan anti pembajakan
sebagaimana ditentukan oleh DCI.
Dolby Digital
merupakan teknologi untuk menghasilkan suara surround digital. Teknologi ini
biasanya digunakan dalam pemrosesan dan pembentukkan data audio untuk film-film
di bioskop atau film-film pada media kepingan seperti DVD. Dolby Digital
dikembangkan oleh Dolby Laboratories.
Dolby menunjukan
solusi bioskop digital terbaru untuk audio, jaringan 3D dan masih banyak lagi.
Dolby memberikan kemudahan dari sebelumnya dengan para peserta pameran untuk
transisi ke bioskop digital dengan lengkap dan handal solusinya. Ini termasuk
bioskop digital server, perangkat lunak, dan 3D solusi, serta terbaru dalam
pemrosesan audio, CP750 Digital Cinema Processor.
Komentar
Posting Komentar